Jumat, 19 Mei 2017

Review Film "Danur"



Hai semuanya ketemu lagi nih sama aku, disini aku bakal ngereview tentang film horor indonesia yang berjudul “Danur”. Awal cerita menunjukkan sosok Risa (Prilly Latuconsina) yang sedang memainkan piano dengan menyanyikan lagu Boneka Abdi yang bernuansa lagu Sunda. Saat lagu dinyanyikan, tiga sosok hantu kecil berwajah seram tampak di belakang Risa.
Cerita kemudian mengisahkan masa kecil Risa (Asha Kanyeri) yang kesepian. Ibunya sibuk bekerja, sedangkan ayahnya dinas ke luar negeri dan hanya pulang setengah tahun sekali. Di hari ulang tahunnya, Risa meminta teman yang dapat diajak bermain. Tiga sosok anak kecil yang sedang bermain petak umpet membuat Risa heran. Tanpa rasa takut, Risa pun bergabung dalam permainan tersebut.
Ely (Kinaryosih), ibu Risa, mulai merasakan keganjilan di rumahnya. Banyak coretan di lantai dan mainan berserakan. Awalnya Ely mengira hal itu perbuatan Risa, namun Risa mengelak dengan mengatakan itu semua perbuatan teman barunya. Tentu saja Ely tak dapat melihat siapapun selain anaknya. Ely mengundang temannya yang seorang psikolog untuk menyembuhkan Risa, namun sang teman tercengang saat melihat kursi di ruang tamu bergerak sendiri. Sang teman pun tak dapat menolong dan memilih pergi.
Tak ada pilihan, Ely terpaksa menyetujui saran pembantu di rumahnya yang mengenalkannya dengan seorang paranormal, Ki Asep (Jose Rizal). Ki Asep menemukan tiga sosok hantu: William (Wesley Andrew), Jansen (Kevin Bzezovski), dan Peter (Gamaharitz). Ketiga nya merupakan sosok hantu cilik yang mati di rumah yang sekarang ditempati Ely dan Risa.
Risa hampir tewas saat hampir melompati batas pagar lantai dua rumahnya. Ki Asep membukakan mata batin Risa untuk dapat melihat sosok menyeramkan teman-teman hantunya. Risa histeris dan sejak saat itu tidak dapat melihat teman-teman hantunya. Risa dan keluarganya pun pindah ke rumah lain.
Risa sudah dewasa dan memiliki seorang adik perempuan bernama Riri (Sandrinna Michelle). Neneknya yang sedang sakit membuat Risa dan Riri kembali ke rumah lamanya. Andri (Indra Brotolaras) yang merupakan sepupu Risa turut menjaga sang nenek.
Cerita selanjutnya bergulir mulai menegangkan kala Riri menemukan sisir di dekat pohon beringin dan membawanya pulang ke rumah. Saat malam menjelang, sosok wanita misterius bernama Asih (Shareefa Daanish) muncul dengan tampilan seperti seorang perawat. Ia tak banyak berbicara selain mengangguk dan membuat kaget Risa.
Risa mengira jika Asih adalah perawat baru yang dikirim oleh tantenya untuk mengurusi sang nenek. Sejak saat itu, teror menyeramkan pun mulai menimpa Risa dan Andri. Riri juga berada dalam bahaya saat jiwanya dibawa Asih yang merindukan anaknya yang juga telah tewas.

Ditulis oleh: Diah Ainun Azizah

Kamis, 11 Mei 2017

review film horor "Ouija 2"



Pernah dengar istilah muka “Rambo” hati “Hello Kitty”? Istilah itu bisa digunakan untuk seseorang yang tampilannya bagaikan tuan tanah parkiran, tapi ternyata “dalamnya” seperti bayi kelilipan. Dirangkai dengan pace yang lambat, prekuel dari ouij ini merupakan salah satu film horor dengan pendalaman kisah yang cukup detail bagi saya. Kita tidak akan menemukan adegan “Keluarga Cemara” dengan make up tebal memasang senyum creepy di ruang tengah, layar gelap, suara menengangkan, atau kejutan intens berturut-turut. Tetapi semua itu diganti dengan runutan skenario yang menceritakan menit per menit, detail per detail, dan background story dengan adegan yang cukup terperinci.
Setting tempat ala 60an akhir pun begitu diperhatikan, tone yang dihadirkan seakan melengkapi suasana “jadul” yang coba divisualkan. Hal ini justru bukan hanya membangkitkan sisi “ngeri” kita dengan bayangan-bayangan sosok seram, tetapi dari suasana yang dibangun oleh keselruhan aspek, dimana rasa ngeri yang dihadirkan justru akan lebih membekas. Script yang disusun pun cukup solid, beberapa humor yang diselipkan cukup mampu menjadi ice breaker dalam suasana mencekam yang dibentuk. Meskipun terdapat beberapa plot hole di pertengahan dan bagian-bagian akhir cerita, serta percakapan kaku dan adegan cheesy ala horor mainstream, namun tidak menutup kerapihan dari jalinan cerita secara keseluruhan.
Meskipun lambat, bukan berari film ini tidak memiliki sis creepy, sosok dari “bintang utama” horor ini cukup membuat bergidik, dimana “tampilannya” yang merasuki anak perempuan membuat saya sedikit bergidik  melihatnya. Fil ini bagi saya penganut “save the best for the last” garis keras, karena segala unsur horor yang dinantika  akan “dikeluarkan” pada 30menit terakhir film.
Film Ouija 2 ini merupakan film squel dai film pertamanya yaitu Ouije. Film Ouija sendiri terinspirasi dai sebuah papan tradisional dari kisal spiritual kuno dengan nama yang sama yaitu Ouija atau berarti permainan huruf. Pada film pertamanya yang berjudul Ouija diceritakan tentang seorang anak yang bernama Elaine bersama dengan 4 orang temannya memiliki sebuah rasa penasaran tentang kematian sahabat mereka yang bernama Debbie. Mereka semua akhirnya memutuskan untuk memainkan papan tersebut yang dikenal bisa membangunkan atau mengebalikan arwah yang sudah meninggal. Mereka semua hendak bertanya secara langsung kepada Debbie kenapa kematiannya yang tidak banyak diketahui orang.
Setelah merekan berhasil membangunkan Debbie mereka bertanya tentang kematiannya, namum yang mereka dapatkan adalah jawaban yang mengejutkan, karena Debbie meniggal justru karena ia memainkan papan Ouija yang sedang dimainkan juga oleh 5 sahabatnya saat itu. Dan film berlanjut ke Ouija 2 dimana kelima sahabat tersebut bukan lagi memanggil temannya Debbie, melainkan ayah Basso yang ingin mereka ketahui lagi penyebab kematiannya. Mereka berhail memanggil arwah ayah Basso yang baru saja meninggal. Namun, ada satu hal yang tidak mereka sadari. Bahwa ketika mereka memanggil arwah ayah Basso mereka juga membangunkan arwah jahat yang terdapat dipapan Ouija terseut.
Semenjak mereka memaikan papan Ouija untuk kedua kali ini, mereka mulai ketakutan akan adanya arwah jahat yang terus mengetahui mereka. Kini, nyawa mereka semua menjadi incaran dari arwah jahat yang terus menggangu mereka.

Ditulis oleh Diah Ainun Azizah